Headlines News : Info Terkini Palang Merah Indonesia Prov. Kaltim
Home » » Gerakan dan HPI

Gerakan dan HPI

Written By PMI Prov. Kaltim on Minggu, 12 Mei 2013 | 08.13


Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional

A. Sejarah Gerakan

Perang Solferino
Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi, sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis dan Austria. Pertempuran yang berlangsung sekitar 16 jam dan melibatkan 320.000 orang prajurit itu, menelan puluhan ribu korban tewas dan luka-luka. Sekitar 40 ribu orang meninggal dalam pertempuran.

Banyaknya prajurit yang menjadi korban, dimana pertempuran berlangsung antar kelompok yang saling berhadapan, memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak ubahnya seperti pembantaian massal yang menghabisi ribuan orang pada satu waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan orang yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap sebagai ‘makanan meriam’. Ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka yang terluka tanpa pertolongan. Jumlah ahli bedah pun sangat tidak mencukupi. Saat itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang dokter untuk seribu orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Perancis.

Akibat perang dengan pemandangannya yang sangat mengerikan itu, menggugah Henry Dunant, seorang pengusaha berkebangsaan Swiss (1828 – 1910) yang kebetulan lewat dalam perjalanannya untuk menemui Kaisar Napoleon III guna keperluan bisnis. Namun menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan akibat pertempuran,  membuat kesedihannya muncul dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang dari desa-desa sekitarnya, dan tinggal di sana selama tiga hari untuk dengan sungguh-sungguh menghabiskan waktunya untuk merawat orang yang terluka.

Ribuan orang yang terluka tanpa perawatan dan dibiarkan mati di tempat karena pelayanan medis yang tidak mencukupi jumlahnya dan tidak memadai dalam tugas/keterampilan, membuatnya sangat tergugah. Kata-kata bijaknya yang diungkapkan saat itu, Siamo tutti fratelli (Kita semua saudara), membuka hati para sukarelawan untuk melayani kawan maupun lawan tanpa membedakannya.

Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss, membuatnya terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino. Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian dunia akan kenyataan kejamnya perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul “Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir De Solferino).



Buku itu mengandung dua gagasan penting yaitu:
>    Perlunya mendirikan perhimpunan bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang yang terluka pada waktu perang.
>    Perlunya kesepakatan internasional guna melindungi prajurit yang terluka dalam medan perang dan orang-orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.

Selanjutnya Dunant mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para pemimpin militer, politikus, dermawan dan teman-temannya. Usaha itu segera membuahkan hasil yang tidak terduga. Dunant diundang kemana-mana dan dipuji dimana-mana. Banyak orang yang tertarik dengan ide Henry Dunant, termasuk Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga ketua dari The Geneva Public Welfare Society (GPWS). Moynier pun mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863 di Jenewa. ternyata, 160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Dunant. Pada saat itu juga ditunjuklah empat orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.  Mereka adalah :
1.    Gustave Moynier
2.    dr. Louis Appia
3.    dr. Theodore Maunoir
4.    Jenderal Guillame-Hendri Dufour

Adapun Henry Dunant, walaupun bukan anggota GPWS, namun dalam komite tersebut ditunjuk menjadi sekretaris. Pada tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima berganti nama menjadi Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu jenderal Guillame – Henri Dufour.

Pada bulan Oktober 1863, Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka, atas bantuan Pemerintah Swiss, berhasil melangsungkan Konferensi Internasional pertama  di Jenewa yang dihadiri perwakilan dari 16 negara (Austria, Baden, Beierem, Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italia, Norwegia, Prusia, Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover,dan Hutenberg). Beberapa Negara tersebut saat ini sudah menjadi Negara bagian dari Jerman.

Adapun hasil dari konferensi tersebut, adalah disepakatinya satu konvensi yang terdiri dari sepuluh pasal, beberapa diantaranya merupakan pasal krusial yaitu  digantinya nama Komite Tetap Internasional untuk Menolong Prajurit yang Terluka menjadi KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH atau ICRC (International Committee of the Red Cross) dan ditetapkannya tanda khusus bagi sukarelawan yang memberi pertolongan prajurit yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih.

Pada akhir konferensi internasional 1863, gagasan pertama Dunant – untuk membentuk perhimpunan para sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan Beberapa perhimpunan serupa dibentuk beberapa bulan kemudian setelah konferensi internasional di Wurttemburg, Grand Duchy of Oldenburg, Belgia dan Prusia. Perhimpunan lain mengikuti seperti di Denmark, Perancis, Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.

Selanjutnya, dengan dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai bahan diskusi, sebuah rancangan konvensi disiapkan oleh Komite Internasional. Rancangan tersebut dinamakan “Konvensi Jenewa untuk memperbaiki kondisi tentara yang terluka di medan perang” dan disetujui pada tanggal 22 Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi prajurit yang terluka pada saat peperangan dan membuat negara-negara memberikan status netral pada prajurit yang terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil kesehatan.

B. Komponen Gerakan

Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada akhir perang dunia pertama sebagian besar daerah di Eropa sangat kacau, ekonomi rusak, populasi berkurang drastis karena epidemi, sejumlah besar pengungsi yang miskin dan orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan memenuhi benua itu. Perang tersebut sangat jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat antara perhimpunan Palang Merah, yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik ribuan sukarelawan. Henry P. Davison, Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi internasional medis (April 1919, Cannes, Perancis) ”untuk memfederasikan perhimpunan palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi setara dengan liga bangsa-bangsa, dalam hal peperangan dunia untuk memperbaiki kesehatan, mencegah penyakit dan mengurangi penderitaan.”


Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah[1] kemudian secara formal terbentuk dengan markas besarnya di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis, Inggris, Itali, Jepang, Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1919 dengan tujuan utama memperbaiki kesehatan pada negara-negara yang telah sangat menderita setelah perang. Liga itu juga bertujuan untuk ‘memperkuat dan menyatukan aktivitas kesehatan yang sudah ada dalam Perhimpunan Palang Merah dan untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan baru.’ Bagian penting dari kerja Federasi adalah menyediakan dan mengkoordinasi bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya ada di Jenewa. Pada tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societis).

Selanjutnya, baik IFRC, ICRC dan Perhimpunan Nasional, merupakan bagian dari komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau biasa disebut dengan ”Gerakan” saja. Komponen Gerakan dalam menjalankan tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan.

International Committee of the Red Cross
Sebagai sebuah lembaga swasta dan mandiri, ICRC bertindak sebagai penengah yang netral antara dua negara yang berperang atau bermusuhan dalam konflik bersenjata Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada kasus-kasus kekerasan internasional. Selain itu, juga berusaha untuk menjamin bahwa korban kekerasan di atas, baik penduduk sipil maupun militer serta menerima perlindungan dan pertolongan.

Pada kasus-kasus konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan ICRC didasarkan pada Konvensi dan protokol-protokolnya. Ini alasan mengapa kita mengatakan bahwa sebuah mandat khusus telah dipercayakan kepada ICRC oleh komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan internal, ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti tercantum dalam statuta gerakan.

ICRC adalah pelindung prinsip-prinsip dasar gerakan dan pengambil keputusan atas pengakuan perhimpunan-perhimpunan nasional, dimana dengan itu mereka menjadi bagian resmi dari gerakan. ICRC bekerja untuk mengembangkan HPI, menjelaskan, mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan memastikan bahwa konvensi-konvensi itu dilaksanakan dan mengembangkannya apabila perlu.

Perhimpunan Nasional
Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap negara anggota penandatangan Konvensi Jenewa. Tidak ada negara yang dapat memiliki lebih dari satu Perhimpunan Nasional. Sebelum sebuah perhimpunan baru disetujui oleh ICRC dan menjadi anggota Federasi, beberapa syarat ketat harus dipenuhi. Menurut statuta gerakan Perhimpunan Nasional yang baru didirikan harus disetujui oleh ICRC. Untuk dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
      Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949
      Satu-satunya Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya
      Diakui oleh Pemerintah Negaranya
      Memakai nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
      Bersifat mandiri
      Memperluas kegiatan di seluruh wilayah
      Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya
      Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang
      Menyetujui statuta Gerakan
      Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip-prinsip HPI

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Badan ini mendukung aktivitas kemanusiaan yang dilaksanakan oleh perhimpunan nasional atas nama kelompok-kelompok rentan dan bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil Internasional mereka. Federasi mendukung Perhimpunan Nasional dan ICRC dalam usahanya untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.

Statuta Gerakan
Statuta Gerakan adalah salah satu dasar yang menentukan struktur dan kewajiban ICRC, Federasi, dan Perhimpunan Nasional. Statuta Gerakan disusun pada tahun 1928. Kemudian direvisi pada tahun 1952 direvisi lagi pada tahun 1986, tepatnya pada Konferensi Internasional yang ke-25 yang dilaksanakan di Jenewa.

Statuta ICRC
ICRC menetapkan statutanya pada tahun 1915. Semenjak itu mereka sudah merevisinya beberapa kali. Khususnya, mereka berefleksi dan mengembangkan pokok-pokok pikiran dari pasal 5 Statuta Gerakan. Untuk lebih persisnya, sebagai tambahan atas apa yang sudah disebutkan di atas, statuta itu menyebutkan bahwa ICRC harus:

>    Melindungi dan mempromosikan penghormatan kepada prinsip-prinsip dasar gerakan, demikian juga dengan penyebarluasan pengetahuan HPI yang dapat dipakai dalam konflik bersenjata;
>    Mengakui semua Perhimpunan Nasional yang dibentuk berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam statuta gerakan;
>    Mengemban tugas yang diberikan oleh Konvensi Jenewa dan memastikan bahwa HPI dilaksanakan dangan setia.
>    Menyediakan perlindungan dan bantuan, dalam kapasitasanya sebagai penengah netral kepada militer dan korban sipil dari konflik bersenjata.·  Mengelola, menjalankan Badan Pusat Pencarian;
>    Melaksanakan mandat yang dipercayakan kepadanya oleh Konferensi Internasional.

Statuta Federasi
Statuta Federasi memutuskan tanggung jawab Federasi sebagai berikut:
>    Bertindak sebagai badan penghubung dan koordinasi permanen dari Perhimpunan-Perhimpunan Nasional;
>    Memberikan bantuan kepada Perhimpunan Nasional yang mungkin memerlukan dan memintanya;
>    Mempromosikan pembentukan dan pengembangan Perhimpunan Nasional;
>    Mengkoordinasi operasi bantuan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Nasional dalam rangka membantu korban bencana alam dan pengungsi di tempat di mana tidak ada konflik bersenjata.


 Statuta Perhimpunan Nasional
Setiap Perhimpunan Nasional memiliki statuta sendiri-sendiri. Walaupun mungkin berbeda satu dengan yang lain, statuta itu harus mencerminkan semangat gerakan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum dalam statuta gerakan. Harus diperhatikan bahwa seperangkat “model statuta” tersedia untuk digunalan oleh perhimpunan nasional. Tujuan untuk pembuatan model tersebut pada tahun 1952 tidak untuk digunakan sebagai satu-satunya peraturan bagi semua perhimpunan nasional tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip konvensi dan gerakan, yang merupakan aplikasi universal. Model statuta ini sudah diubah sampai berkali-kali dan pantas untuk menjadi pedoman bagi perhimpunan nasional baru dalam membuat rancangan statutanya sendiri.



Referensi


1.            International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva
2.            International Committee of the Red Cross, 1998, Mengenal Lebih Jauh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC, Geneva.
3.            Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


[1] Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang perhimpunan nasionalnya. 



Lambang Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional

A. Sejarah Lambang

Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan bendera merah dan Spanyol menggunakan bendera kuning. Akibatnya, walaupun tentara tahu apa tanda pengenal dari personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga tanda pengenal tersebut  bukannya memberi perlindungan namun juga dianggap sebagai target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.

Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu Lambang. Namun yang menjadi masalah kemudian, adalah memutuskan bentuk Lambang yang akan digunakan oleh personel medis sukarela di medan perang. Dalam suatu kurun waktu, ikat lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna putih telah digunakan dalam konflik bersenjata oleh pembawa bendera putih tanda gencatan senjata, khususnya untuk menyatakan menyerah. Penggunaan warna putih pun dapat menimbulkan kebingungan sehingga perlu dicari suatu kemungkinan Lambang lainnya.

Delegasi dari Konferensi tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap Negara Swiss. Selain itu, bentuk Palang Merah pun memberikan keuntungan teknis karena dinilai memiliki desain yang sederhana sehingga mudah dikenali dan mudah dibuat. Selanjutnya pada tahun 1863, Konferensi Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat mengadopsi Lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang nantinya menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.

Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.

Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006,  sebuah keputusan penting lahir, yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005.  Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.

Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional, dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal Merah dalam waktu tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu daerah. Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang sepenuhnya.

B. Ketentuan Lambang

Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.        Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2.        Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3.        Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.        Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5.        Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991

Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada Perhimpunan yang menggunakannya.

Selanjutnya, aturan penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan kegiatan sosial lainnya tercantum dalam “Regulations on the Use of the Emblem of the Red Cross and of the Red Crescent by National Societies”. Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.  

Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik

Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.

Apabila Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan bagi:
>  Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
>  Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
>  Unit dan transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
>  Peralatan medis.

Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Lambang yaitu:


> Peniruan (Imitation):
Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalahmengerti sebagai lambang Palang Merah atau bulan sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.

> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan (perusahaan  komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).

> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave   
     misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.




Referensi

1.                Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.                International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
3.                International Committee of the Red Cross, 2005, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III). ICRC, Geneva.
4.                International Committee of the Red Cross,1991, Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, ICRC, Geneva, 1991.
5.                Palang Merah Indonesia, 2006, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia tahun 2004 – 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
6.                Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional

A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar

Definisi
Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium” yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga dapat berarti ‘suatu aturan-aturan dasar yang mengekspresikan nilai-nilai dasar suatu kelompok komunitas yang tidak berubah-ubah dalam keadaan apapun.’ Sebagai contoh, penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari kemerdekaan.

Landasan
Banyaknya Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang bekerja dalam konteks yang berbeda-beda, dengan puluhan juta anggota, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memiliki warna yang beraneka ragam.Lebih dari itu, pekerjaannya pada dasarnya terdiri dari kegiatan sehari-hari yang praktis dan yang seringkali diimprovisasi. Dalam rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk tindakan yang konsisten dan efektif, Gerakan memerlukan standar yang universal sebagai referensi, seperangkat kebijakan dan pendekatan yang umum; dengan kata lain, Prinsip-prinsip Dasar.

Batasan
Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana, karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada tentara yang luka dan sakit dalam masa perang. Namun dengan berlalunya waktu, tugasnya menjadi lebih luas dan beraneka-ragam. Untuk tetap dapat mengontrol kegiatannya yang terus berkembang, dan menghindari perpecahan, Gerakan memformulasikan prinsip mereka sendiri untuk diketahui oleh semua orang dan untuk lebih dapat mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.

Asal-usul
Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan. Usulan adanya Prinsip Dasar bagi Gerakan, semula terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun teks masih kasar dan lepas-lepas. Pada tahun 1949, adanya Prinsip Dasar telah disebutkan pula dalam konvensi I (pasal 44) dan konvensi IV (pasal 63). Selanjutnya berkembang pada tahun 1955 dimana  Jean Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik dan membagi Prinsip menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis (Organic). Pada konteks Palang Merah, suatu prinsip menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan tindakan yang wajib, berdasar pada pertimbangan dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet pun menjadi dasar pertimbangan tertulis dan resmi diumumkan di Viena, konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20. namun demikian, baru pada tahu 1979, Pictet menulis uraian tentang Prinsip Dasar yang ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip Dasar dan memasukannya kedalam pembukaan statuta baru. Ketujuh Prinsip dasar itu meliputi : Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.

Makna dan Kategori
Ketujuh prinsip merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat sebagai suatu piramida yang akan rusak apabila salah satu bagiannya jatuh atau diambil. Meskipun setiap bagian saling terikat dan tergantung, masing-masing memiliki peranan sendiri-sendiri. Prinsip-prinsip ini dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

> Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan Kesamaan
Prinsip-prinsip ini berlaku sebagai inspirasi organisasi, merupakan tujuan dari Gerakan, menentukan tindakan-tindakan di masa perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani umat manusia.

> Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip yang memungkinkan untuk mengaplikasikan prinsip substansi / utama, menjamin kepercayaan semua orang dan memungkinkan Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.

> Prinsip dan organis, meliputi Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip ini sebagai standar untuk aplikasi, berhubungan dengan struktur dan operasi organisasi, merupakan ‘batu fondasi’ dari Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat bertindak atau akan menghilang secara perlahan.

Hubungan Antarprinsip
Prinsip-prinsip ini saling berhubungan. Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga pada tingkatan tertentu setiap prinsip berasal dari prinsip lainnya.

Prinsip non-diskriminasi (kesamaan) berhubungan dengan prinsip inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu tidak penting untukku. Hanya kenyataan bahwa kamu menderita,” kata Louis Pasteur. Pernyataan ini memberi penjelasan bahwa konsep non-diskriminasi secara luas sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang lainnya. Prinsip proporsional (dalam Kesamaan) berasal dari prinsip Kemanusiaan dan non-diskriminasi (Kesamaan). Dapat ditambahkan pada pernyataan Pasteur “... dan aku akan merawatmu berdasarkan tingkat keparahan penderitaanmu.” Bantuan terbesar harus diberikan kepada mereka yang memiliki kebutuhan terbesar. Perhatian khusus atas “keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di atas.   

Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling berkaitan satu dengan lainnya, namun juga berkaitan dengan non-diskriminasi (kesamaan). Tentu saja seseorang tidak dapat menyatakan dirinya netral selagi ia berada di bawah kekuasaan orang lain. Begitu pula seseorang tidak dapat menyatakan dirinya mandiri apabila ia memihak. Kecerobohan terkecil dalam hal ini akan menyebabkan salah satu dari Prinsip ini terdengar kosong dan tidak berarti. Karenanya kedua prinsip ini sungguh-sungguh saling bergantung satu dengan lainnya, dan tidak terpisahkan dengan prinsip non-diskriminasi, yang muncul sebagai suatu kewajiban untuk bertindak tanpa pilih kasih.

Kesukarelaan (termasuk tidak pamrih) terkait dengan Kemanusiaan. Untuk menyatakan bahwa seseorang “memiliki rasa amal terhadap orang lain” atau “ikut menderita bersama mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada prinsip Kemanusiaan) tidaklah sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri sendiri. Sifat tidak pamrih dengan demikian merupakan satu aspek dari prinsip ini. Kesatuan berkait dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti bahwa hanya boleh ada satu perhimpunan nasional di setiap negara. Sebagaimana yang tampak nyata, ada resiko besar bahwa Perhimpunan Nasional dapat terpengaruh atau jatuh ke suatu kecenderungan pandangan tertentu. Dengan demikian, non-diskriminasi sangatlah penting bagi Kesatuan. Kesemestaan merupakan sebagian dari lanjutan kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan kita (diskriminasi). Apabila demikian maka “memiliki rasa amal terhadap orang lain” menjadi tidak murni lagi karena hanya menyangkut pada orang-orang tertentu saja. Maka secara logis, Kemanusiaan dan non-diskriminasi bersifat universal.


Implementasi Prinsip Dasar dalam Aktivitas Kepalangmerahan

a) Kemanusiaan

”Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban yang terluka di dalam pertempuran, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.”

Mewakili asal-usul Gerakan, prinsip kemanusiaan menyatakan bahwa tidak boleh satupun pelayanan yang menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan. Tujuannya adalah untuk melindungi hidup dan kesehatan serta menjamin penghargaan terhadap manusia. Di masa damai, perlindungan berarti mencegah penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan hidup (mis. pelatihan  Pertolongan Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban tidak meninggal kelaparan, tidak diperlakukan secara semena-semena, atau tidak menghilang). Kemanusiaan meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.

b) Kesamaan

Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan politik. Tujuannya semata-mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan yang paling parah



Non-diskriminasi terhadap kebangsaan, suku, agama, golongan atau pandangan politik adalah sebuah aturan wajib yang menuntut agar segala perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu secara merata, dan diberikan berdasarkan pertimbangan kebutuhan. Prioritas pemberian bantuan harus berdasarkan tingkat kedaruratannya serta proporsional dengan penderitaan yang ingin diatasi.

c) Kenetralan

Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.

Kenetralan berarti menahan diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau ideologi. Apabila Palang Merah atau Bulan Sabit Merah memihak, mereka akan kehilangan kepercayaan dari salah satu kelompok masyarakat dan sulit untuk melanjutkan ativitas mereka. Setiap anggota Gerakan dituntut untuk dapat menahan diri, bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.

d) Kemandirian

Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional di samping membantu Pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”

Secara umum, kemandirian berarti bahwa institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak segala jenis campur tangan yang bersifat politis, ideologis atau ekonomis yang dapat mengalihkan mereka dari jalur kegiatan yang telah ditetapkan oleh tuntutan kemanusiaan. Contohnya, tidak boleh menerima sumbangan uang dari siapapun yang mensyaratkan bahwa peruntukkannya ditujukan bagi sekelompok orang secara khusus berdasarkan alasan politis, kesukuan atau agama dengan mengesampingkan kelompok lainnya yang kebutuhannya mungkin lebih mendesak. Tidak ada suatu institusi Palang Merah pun yang boleh tampak sebagai alat kebijakan pemerintah. Walaupun Perhimpunan Nasional diakui oleh pemerintahnya sebagai alat bantu pemerintah, dan harus tunduk pada hukum negaranya, mereka harus selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip Gerakan setiap saat.
e) Kesukarelaan
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apa pun.

Kesukarelaan adalah proposal yang sangat tidak mementingkan diri sendiri dari seseorang yang melaksanakan suatu tugas khusus untuk orang lain dalam semangat persaudaraan manusia. Apakah dilakukan tanpa bayaran maupun untuk suatu pengakuan atau kompensasi, faktor utama adalah bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan.

f)  Kesatuan

Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.

Prinsip kesatuan secara khusus berhubungan dengan struktur institusi dari Perhimpunan Nasional. Di negara manapun, peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan tersebut merupakan satu-satunya Perhimpunan Nasional yang dapat melaksanakan segala kegiatannya di wilayah nasional. Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat agar dapat diakui oleh ICRC.

g) Kesemestaan

Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap Perhimpunan Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.

Kesemestaan penderitaan memerlukan respon yang semesta juga. Prinsip kesemestaan menuntut tanggung jawab secara kolektif  di pihak Gerakan. Kesamaan dari status dan hak dari Perhimpunan Nasional direfleksikan dalam kenyataan bahwa dalam konferensi dan dalam badan pemerintah Gerakan, setiap Perhimpunan Nasional memiliki satu suara, hal mana melarang pemberian hak suara istimewa maupun kursi tetap kepada Perhimpunan Nasional tertentu.


Referensi

1.                International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
2.                IFRC, Film “Helpman”, IFRC, Geneva.
3.                IFRC, Film “Principles to action”, IFRC, Geneva.
4.                Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5.                PMI Statutes
6.                Pictet, Jean S, 1956, Red Cross Principles, ICRC, Geneva.
7.                Pictet, Jean S. 1979, The Fundamental Principles of the Red Cross: Commentary, Henry Dunant Institute, Geneva.





Hukum Perikemanusiaan Internasional


A. Sejarah HPI

Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.

Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.

Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.

Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.

Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss  mengadakan Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata.

Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.

Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta  tidak seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas,  mencoba untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.

1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.

2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.

3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.

4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.

5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.

6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu.

7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
>  aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban   sengketa;
>  sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
>  adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
>  penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).

Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta jenis-jenis sengketa.

Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.

Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I    Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan   pertempuran darat
II  Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV  Perlindungan penduduk sipil di waktu perang


Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190 tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.

HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas  individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.

Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.






Referensi

1.                Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.                International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
3.                International Committee of the Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
4.                International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5.                ICRC, Film ‘Fighting by the Rules’ ,  ICRC, Geneva




Share this article :

1 komentar :

 
Support : Creating Website | pmi.kaltim | Depkominfo
Copyright © 2011. PALANG MERAH INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by pmi.kaltim
Proudly powered by Blogger