Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Gerakan
Perang Solferino
Pada tanggal 24 Juni 1859 di
Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,
sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis
dan Austria. Pertempuran yang berlangsung sekitar 16 jam dan melibatkan 320.000
orang prajurit itu, menelan puluhan ribu korban tewas dan luka-luka. Sekitar 40
ribu orang meninggal dalam pertempuran.
Banyaknya prajurit yang menjadi
korban, dimana pertempuran berlangsung antar kelompok yang saling berhadapan,
memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak
ubahnya seperti pembantaian massal yang menghabisi ribuan orang pada satu
waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan orang
yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap
sebagai ‘makanan meriam’. Ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka yang
terluka tanpa pertolongan. Jumlah ahli bedah pun sangat tidak mencukupi. Saat
itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang
dokter untuk seribu orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh
Perancis.
Akibat perang dengan
pemandangannya yang sangat mengerikan itu, menggugah Henry Dunant, seorang pengusaha berkebangsaan Swiss (1828 – 1910)
yang kebetulan lewat dalam perjalanannya untuk menemui Kaisar Napoleon III guna
keperluan bisnis. Namun menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan akibat
pertempuran, membuat kesedihannya muncul
dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang
dari desa-desa sekitarnya, dan tinggal di sana selama tiga hari untuk dengan
sungguh-sungguh menghabiskan waktunya untuk merawat orang yang terluka.
Ribuan orang yang terluka
tanpa perawatan dan dibiarkan mati di tempat karena pelayanan medis yang tidak
mencukupi jumlahnya dan tidak memadai dalam tugas/keterampilan, membuatnya
sangat tergugah. Kata-kata bijaknya yang diungkapkan saat itu, Siamo
tutti fratelli (Kita semua saudara), membuka hati para sukarelawan
untuk melayani kawan maupun lawan tanpa membedakannya.
Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss,
membuatnya terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino.
Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian
dunia akan kenyataan kejamnya perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya
dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul “Kenangan dari Solferino” (Un
Souvenir De Solferino).
Buku itu mengandung dua
gagasan penting yaitu:
> Perlunya mendirikan perhimpunan
bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang
yang terluka pada waktu perang.
> Perlunya kesepakatan
internasional guna melindungi prajurit yang terluka dalam medan perang dan
orang-orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.
Selanjutnya Dunant
mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para
pemimpin militer, politikus, dermawan dan teman-temannya. Usaha itu segera
membuahkan hasil yang tidak terduga. Dunant diundang kemana-mana dan dipuji
dimana-mana. Banyak orang yang tertarik dengan ide Henry Dunant, termasuk
Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga ketua dari The Geneva Public
Welfare Society (GPWS). Moynier pun mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan
idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863 di Jenewa.
ternyata, 160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Dunant. Pada saat itu
juga ditunjuklah empat orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk
memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.
Mereka adalah :
1.
Gustave Moynier
2.
dr. Louis Appia
3.
dr. Theodore Maunoir
4.
Jenderal Guillame-Hendri
Dufour
Adapun Henry Dunant, walaupun
bukan anggota GPWS, namun dalam komite tersebut ditunjuk menjadi sekretaris.
Pada tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima berganti nama menjadi Komite Tetap Internasional untuk
Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu
jenderal Guillame – Henri Dufour.
Pada bulan Oktober 1863, Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka, atas bantuan
Pemerintah Swiss, berhasil melangsungkan Konferensi Internasional pertama di Jenewa yang dihadiri perwakilan dari 16
negara (Austria, Baden, Beierem, Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italia,
Norwegia, Prusia, Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover,dan
Hutenberg). Beberapa Negara tersebut saat ini sudah menjadi Negara bagian dari
Jerman.
Adapun hasil dari konferensi
tersebut, adalah disepakatinya satu konvensi yang terdiri dari sepuluh pasal,
beberapa diantaranya merupakan pasal krusial yaitu digantinya nama Komite Tetap Internasional
untuk Menolong Prajurit yang Terluka menjadi KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH atau ICRC (International Committee
of the Red Cross) dan ditetapkannya tanda
khusus bagi sukarelawan yang memberi pertolongan prajurit yang luka di
medan pertempuran yaitu Palang Merah
diatas dasar putih.
Pada akhir konferensi
internasional 1863, gagasan pertama Dunant – untuk membentuk perhimpunan para
sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan Beberapa perhimpunan serupa
dibentuk beberapa bulan kemudian setelah konferensi internasional di
Wurttemburg, Grand Duchy of Oldenburg, Belgia dan Prusia. Perhimpunan lain
mengikuti seperti di Denmark, Perancis, Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain,
Hamburg dan Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau
Perhimpunan Pertolongan.
Selanjutnya, dengan dukungan
pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan
di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi
donor mengirimkan wakilnya. Sebagai bahan diskusi, sebuah rancangan konvensi
disiapkan oleh Komite Internasional. Rancangan tersebut dinamakan “Konvensi
Jenewa untuk memperbaiki kondisi tentara yang terluka di medan perang” dan
disetujui pada tanggal 22 Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu
mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi prajurit yang
terluka pada saat peperangan dan membuat negara-negara memberikan status netral
pada prajurit yang terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil
kesehatan.
B. Komponen Gerakan
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada akhir perang dunia
pertama sebagian besar daerah di Eropa sangat kacau, ekonomi rusak, populasi
berkurang drastis karena epidemi, sejumlah besar pengungsi yang miskin dan
orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan memenuhi benua itu. Perang tersebut
sangat jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat antara perhimpunan Palang
Merah, yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik ribuan
sukarelawan. Henry P. Davison,
Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi
internasional medis (April 1919, Cannes, Perancis) ”untuk memfederasikan
perhimpunan palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi setara
dengan liga bangsa-bangsa, dalam hal peperangan dunia untuk memperbaiki
kesehatan, mencegah penyakit dan mengurangi penderitaan.”
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah[1] kemudian secara formal terbentuk dengan markas besarnya
di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis, Inggris, Itali, Jepang,
Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1919 dengan tujuan utama memperbaiki kesehatan
pada negara-negara yang telah sangat menderita setelah perang. Liga itu juga
bertujuan untuk ‘memperkuat dan menyatukan aktivitas kesehatan yang sudah ada
dalam Perhimpunan Palang Merah dan untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan
baru.’ Bagian penting dari kerja Federasi adalah menyediakan dan mengkoordinasi
bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya ada
di Jenewa. Pada tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama Liga
Perhimpunan Palang Merah menjadi Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societis).
Selanjutnya, baik IFRC, ICRC
dan Perhimpunan Nasional, merupakan bagian dari komponen Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah atau biasa disebut dengan ”Gerakan” saja. Komponen
Gerakan dalam menjalankan tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat
masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan.
International Committee of the Red Cross
Sebagai sebuah
lembaga swasta dan mandiri, ICRC bertindak sebagai penengah yang netral antara
dua negara yang berperang atau bermusuhan dalam konflik bersenjata
Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada kasus-kasus
kekerasan internasional. Selain itu, juga berusaha untuk menjamin bahwa korban
kekerasan di atas, baik penduduk sipil maupun militer serta menerima
perlindungan dan pertolongan.
Pada kasus-kasus
konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan
ICRC didasarkan pada Konvensi dan protokol-protokolnya. Ini alasan mengapa kita
mengatakan bahwa sebuah mandat khusus telah dipercayakan kepada ICRC oleh
komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan
internal, ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti
tercantum dalam statuta gerakan.
ICRC adalah pelindung
prinsip-prinsip dasar gerakan dan pengambil keputusan atas pengakuan
perhimpunan-perhimpunan nasional, dimana dengan itu mereka menjadi bagian resmi
dari gerakan. ICRC bekerja untuk mengembangkan HPI, menjelaskan,
mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan
kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan
memastikan bahwa konvensi-konvensi itu dilaksanakan dan mengembangkannya
apabila perlu.
Perhimpunan Nasional
Perhimpunan Nasional Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap
negara anggota penandatangan Konvensi Jenewa. Tidak ada negara yang dapat
memiliki lebih dari satu Perhimpunan Nasional. Sebelum sebuah perhimpunan baru
disetujui oleh ICRC dan menjadi anggota Federasi, beberapa syarat ketat harus
dipenuhi. Menurut statuta gerakan Perhimpunan Nasional yang baru didirikan
harus disetujui oleh ICRC. Untuk dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah
Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
•
Didirikan
disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949
•
Satu-satunya
Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya
•
Diakui
oleh Pemerintah Negaranya
•
Memakai
nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
•
Bersifat
mandiri
•
Memperluas
kegiatan di seluruh wilayah
•
Terorganisir
dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya
•
Menerima
anggota tanpa membedakan latar belakang
•
Menyetujui
statuta Gerakan
•
Menghormati
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan
prinsip-prinsip HPI
Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Badan ini mendukung aktivitas
kemanusiaan yang dilaksanakan oleh perhimpunan nasional atas nama
kelompok-kelompok rentan dan bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil
Internasional mereka. Federasi mendukung Perhimpunan Nasional dan ICRC dalam
usahanya untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan
mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.
Statuta Gerakan
Statuta Gerakan adalah salah satu dasar
yang menentukan struktur dan kewajiban ICRC, Federasi, dan Perhimpunan
Nasional. Statuta Gerakan disusun pada tahun 1928. Kemudian direvisi pada tahun
1952 direvisi lagi pada tahun 1986, tepatnya pada Konferensi Internasional yang
ke-25 yang dilaksanakan di Jenewa.
Statuta ICRC
ICRC menetapkan
statutanya pada tahun 1915. Semenjak itu mereka sudah merevisinya beberapa
kali. Khususnya, mereka berefleksi dan mengembangkan pokok-pokok pikiran dari
pasal 5 Statuta Gerakan. Untuk lebih persisnya, sebagai tambahan atas apa yang
sudah disebutkan di atas, statuta itu menyebutkan bahwa ICRC harus:
> Melindungi
dan mempromosikan penghormatan kepada prinsip-prinsip dasar gerakan, demikian
juga dengan penyebarluasan pengetahuan HPI yang dapat dipakai dalam konflik
bersenjata;
> Mengakui
semua Perhimpunan Nasional yang dibentuk berdasarkan persyaratan yang tercantum
dalam statuta gerakan;
> Mengemban
tugas yang diberikan oleh Konvensi Jenewa dan memastikan bahwa HPI dilaksanakan
dangan setia.
> Menyediakan
perlindungan dan bantuan, dalam kapasitasanya sebagai penengah netral kepada
militer dan korban sipil dari konflik bersenjata.· Mengelola, menjalankan Badan Pusat Pencarian;
> Melaksanakan
mandat yang dipercayakan kepadanya oleh Konferensi Internasional.
Statuta Federasi
Statuta Federasi memutuskan tanggung
jawab Federasi sebagai berikut:
> Bertindak
sebagai badan penghubung dan koordinasi permanen dari Perhimpunan-Perhimpunan
Nasional;
> Memberikan
bantuan kepada Perhimpunan Nasional yang mungkin memerlukan dan memintanya;
> Mempromosikan
pembentukan dan pengembangan Perhimpunan Nasional;
> Mengkoordinasi
operasi bantuan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Nasional dalam rangka
membantu korban bencana alam dan pengungsi di tempat di mana tidak ada konflik
bersenjata.
Statuta Perhimpunan Nasional
Setiap Perhimpunan Nasional memiliki statuta sendiri-sendiri. Walaupun
mungkin berbeda satu dengan yang lain, statuta itu harus mencerminkan semangat
gerakan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum dalam statuta gerakan. Harus
diperhatikan bahwa seperangkat “model statuta” tersedia untuk digunalan oleh
perhimpunan nasional. Tujuan untuk pembuatan model tersebut pada tahun 1952
tidak untuk digunakan sebagai satu-satunya peraturan bagi semua perhimpunan
nasional tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip konvensi dan gerakan, yang
merupakan aplikasi universal. Model statuta ini sudah diubah sampai
berkali-kali dan pantas untuk menjadi pedoman bagi perhimpunan nasional baru
dalam membuat rancangan statutanya sendiri.
Referensi
1.
International Committee of
the Red Cross, 1994, Handbook of the
International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva
2.
International Committee of
the Red Cross, 1998, Mengenal Lebih Jauh
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC, Geneva.
3.
Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[1] Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan
Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang
perhimpunan nasionalnya.
Lambang Palang
Merah
dan Bulan Sabit
Merah Internasional
A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang
Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan
pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap
pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan
warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis
menggunakan bendera merah dan Spanyol menggunakan bendera kuning. Akibatnya, walaupun
tentara tahu apa tanda pengenal dari personel medis mereka, namun biasanya
mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan
medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai
bagian dari kesatuan tentara, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberi perlindungan namun juga
dianggap sebagai target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah
kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral
kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan
tersebut menuntut dipilihnya hanya satu Lambang. Namun yang menjadi
masalah kemudian, adalah memutuskan bentuk Lambang yang akan digunakan oleh
personel medis sukarela di medan perang. Dalam suatu kurun waktu, ikat lengan
berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna
putih telah digunakan dalam konflik bersenjata oleh pembawa bendera putih tanda
gencatan senjata, khususnya untuk menyatakan menyerah. Penggunaan warna putih
pun dapat menimbulkan kebingungan sehingga perlu dicari suatu kemungkinan Lambang
lainnya.
Delegasi dari Konferensi tahun 1863 akhirnya
memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih, warna kebalikan dari bendera
nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan
terhadap Negara Swiss. Selain itu, bentuk Palang Merah pun
memberikan keuntungan teknis karena dinilai memiliki desain yang sederhana
sehingga mudah dikenali dan mudah dibuat. Selanjutnya
pada tahun 1863, Konferensi Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat
mengadopsi Lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal
perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang nantinya menjadi Perhimpunan
Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar
putih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan
bersenjata.
Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun
niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi
Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda
perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman
(saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan
gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini,
mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk
palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer
mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan
Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh
semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional
tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi,
bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih
yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran
memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang
Bulan Sabit Merah.
Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun
2006, sebuah keputusan penting lahir,
yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan
dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal
Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang
Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi
Diplomatik tahun 2005. Usulan membuat
Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika
Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke
suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak
selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan
tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua
pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional,
dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah
digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal Merah dalam waktu
tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu daerah.
Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan
Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan
merubah Lambang sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan
Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.
Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2.
Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3.
Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.
Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun
1965
5.
Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional tahun 1991
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang
harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang
Bulan Sabit Merah, arah menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan,
terserah kepada Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan penggunaan Lambang bagi Perhimpunan
Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin kerjasama dengan Perhimpunan
Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan kegiatan sosial lainnya
tercantum dalam “Regulations on the Use of the Emblem of the Red Cross
and of the Red Crescent by National Societies”. Peraturan ini, yang
diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda
Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Apabila
digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang
tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa
institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian
Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah
kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara
organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya
dalam seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai
Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-undang nasional mengenai Lambang
untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang
digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah
reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang
harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain,
tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang
Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut
harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar, yaitu
sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya
perlindungan bagi:
> Personel medis dan keagamaan angkatan
bersenjata
> Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit dan
transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan
terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta
Konvensi Jenewa memiliki kewajiban
membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan mengurangi
penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan
untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan
demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation):
Penggunaan
tanda-tanda yang dapat disalahmengerti sebagai lambang Palang Merah atau bulan
sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk
tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan
lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan
(perusahaan komersial, organisasi
non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan
lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai
dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak
menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara
dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan
lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi
kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau
helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata;
tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap
sebagai kejahatan perang.
Referensi
1.
Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen
Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi
Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.
International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and
Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
3.
International Committee of the Red Cross, 2005, Protocol Additional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an Additional
Distinctive Emblem (Protocol III). ICRC, Geneva.
4.
International Committee of the Red Cross,1991, Regulation on the Use of the Emblem of the
Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, ICRC, Geneva,
1991.
5.
Palang Merah Indonesia, 2006, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia tahun
2004 – 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
6.
Muin, Umar, 1999, Gerakan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah
Munculnya Prinsip Dasar
Definisi
Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium”
yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga dapat berarti ‘suatu
aturan-aturan dasar yang mengekspresikan nilai-nilai dasar suatu kelompok
komunitas yang tidak berubah-ubah dalam keadaan apapun.’ Sebagai contoh,
penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari kemerdekaan.
Landasan
Banyaknya Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah yang bekerja dalam konteks yang berbeda-beda, dengan puluhan juta
anggota, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memiliki warna yang
beraneka ragam.Lebih dari itu, pekerjaannya pada dasarnya terdiri dari kegiatan
sehari-hari yang praktis dan yang seringkali diimprovisasi. Dalam rangka
mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk tindakan
yang konsisten dan efektif, Gerakan memerlukan standar yang universal sebagai
referensi, seperangkat kebijakan dan pendekatan yang umum; dengan kata lain,
Prinsip-prinsip Dasar.
Batasan
Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana,
karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada tentara yang luka dan
sakit dalam masa perang. Namun dengan berlalunya waktu, tugasnya menjadi lebih
luas dan beraneka-ragam. Untuk tetap dapat mengontrol kegiatannya yang terus
berkembang, dan menghindari perpecahan, Gerakan memformulasikan prinsip mereka
sendiri untuk diketahui oleh semua orang dan untuk lebih dapat
mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.
Asal-usul
Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada
saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan. Usulan adanya Prinsip
Dasar bagi Gerakan, semula terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun teks masih kasar dan
lepas-lepas. Pada tahun 1949, adanya Prinsip Dasar telah disebutkan
pula dalam konvensi I (pasal 44) dan konvensi IV (pasal 63). Selanjutnya
berkembang pada tahun 1955 dimana Jean
Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik dan membagi Prinsip
menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis
(Organic). Pada konteks Palang Merah, suatu prinsip
menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan tindakan yang wajib, berdasar pada
pertimbangan dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan
pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet pun menjadi dasar pertimbangan tertulis dan resmi diumumkan
di Viena, konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20.
namun demikian, baru pada tahu 1979, Pictet menulis uraian tentang Prinsip
Dasar yang ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip Dasar dan memasukannya kedalam
pembukaan statuta baru. Ketujuh Prinsip dasar itu meliputi : Kemanusiaan,
Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Makna dan Kategori
Ketujuh prinsip merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat sebagai suatu piramida
yang akan rusak apabila salah satu bagiannya jatuh atau diambil. Meskipun
setiap bagian saling terikat dan tergantung, masing-masing memiliki peranan
sendiri-sendiri. Prinsip-prinsip ini dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
> Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan
Kesamaan
Prinsip-prinsip ini berlaku sebagai inspirasi organisasi,
merupakan tujuan dari Gerakan, menentukan tindakan-tindakan di masa
perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani
umat manusia.
> Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi
Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip yang memungkinkan untuk mengaplikasikan prinsip
substansi / utama, menjamin kepercayaan semua orang dan memungkinkan
Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.
> Prinsip dan organis, meliputi
Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip ini sebagai standar untuk aplikasi,
berhubungan dengan struktur dan operasi organisasi, merupakan ‘batu fondasi’
dari Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat bertindak atau akan menghilang
secara perlahan.
Hubungan Antarprinsip
Prinsip-prinsip ini saling berhubungan.
Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga pada tingkatan tertentu setiap
prinsip berasal dari prinsip lainnya.
Prinsip
non-diskriminasi (kesamaan) berhubungan dengan prinsip inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu tidak
penting untukku. Hanya kenyataan bahwa kamu menderita,” kata Louis Pasteur.
Pernyataan ini memberi penjelasan bahwa konsep non-diskriminasi secara luas
sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang lainnya.
Prinsip proporsional (dalam Kesamaan)
berasal dari prinsip Kemanusiaan dan non-diskriminasi (Kesamaan). Dapat
ditambahkan pada pernyataan Pasteur “... dan aku akan merawatmu berdasarkan
tingkat keparahan penderitaanmu.” Bantuan terbesar harus diberikan kepada
mereka yang memiliki kebutuhan terbesar. Perhatian khusus atas
“keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di
atas.
Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling
berkaitan satu dengan lainnya, namun juga berkaitan dengan non-diskriminasi
(kesamaan). Tentu saja seseorang tidak dapat menyatakan dirinya netral selagi
ia berada di bawah kekuasaan orang lain. Begitu pula seseorang tidak dapat
menyatakan dirinya mandiri apabila ia memihak. Kecerobohan terkecil dalam hal
ini akan menyebabkan salah satu dari Prinsip ini terdengar kosong dan tidak
berarti. Karenanya kedua prinsip ini sungguh-sungguh saling bergantung satu
dengan lainnya, dan tidak terpisahkan dengan prinsip non-diskriminasi, yang
muncul sebagai suatu kewajiban untuk bertindak tanpa pilih kasih.
Kesukarelaan
(termasuk tidak pamrih) terkait dengan Kemanusiaan. Untuk menyatakan bahwa
seseorang “memiliki rasa amal terhadap orang lain” atau “ikut menderita bersama
mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada prinsip Kemanusiaan) tidaklah
sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri sendiri. Sifat tidak
pamrih dengan demikian merupakan satu aspek dari prinsip ini. Kesatuan berkait
dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti bahwa hanya boleh ada satu perhimpunan nasional
di setiap negara. Sebagaimana yang tampak nyata, ada resiko besar bahwa
Perhimpunan Nasional dapat terpengaruh atau jatuh ke suatu kecenderungan
pandangan tertentu. Dengan demikian, non-diskriminasi sangatlah penting bagi
Kesatuan. Kesemestaan merupakan
sebagian dari lanjutan kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan
tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan kita
(diskriminasi). Apabila
demikian maka “memiliki rasa amal terhadap orang lain” menjadi tidak murni lagi
karena hanya menyangkut pada orang-orang tertentu saja. Maka secara logis,
Kemanusiaan dan non-diskriminasi bersifat universal.
Implementasi
Prinsip Dasar dalam Aktivitas Kepalangmerahan
a) Kemanusiaan
”Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi pertolongan
tanpa membedakan korban yang terluka di dalam pertempuran, mencegah dan
mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan,
kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.”
Mewakili asal-usul Gerakan, prinsip kemanusiaan
menyatakan bahwa tidak boleh satupun pelayanan yang menguntungkan seseorang
yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan. Tujuannya adalah untuk
melindungi hidup dan kesehatan serta menjamin penghargaan terhadap manusia. Di
masa damai, perlindungan berarti mencegah penyakit, bencana atau kecelakaan
atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan hidup (mis. pelatihan Pertolongan Pertama). Di masa perang, artinya
adalah pemberian bantuan kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban
tidak meninggal kelaparan, tidak diperlakukan secara semena-semena, atau tidak
menghilang). Kemanusiaan meningkatkan saling pengertian, persahabatan,
kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
b) Kesamaan
”Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar
kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan politik. Tujuannya semata-mata
mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan
keadaan yang paling parah”
Non-diskriminasi terhadap kebangsaan, suku, agama,
golongan atau pandangan politik adalah sebuah aturan wajib yang menuntut agar
segala perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan
dibantu secara merata, dan diberikan berdasarkan pertimbangan kebutuhan.
Prioritas pemberian bantuan harus berdasarkan tingkat kedaruratannya serta
proporsional dengan penderitaan yang ingin diatasi.
c) Kenetralan
”Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua
pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan
politik, kesukuan, agama atau ideologi.”
Kenetralan berarti menahan diri dari memihak
dalam permasalahan politik, agama, ras atau ideologi. Apabila Palang Merah atau
Bulan Sabit Merah memihak, mereka akan kehilangan kepercayaan dari salah satu
kelompok masyarakat dan sulit untuk melanjutkan ativitas mereka. Setiap anggota
Gerakan dituntut untuk dapat menahan diri, bersikap netral dan tidak
mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.
d) Kemandirian
”Gerakan ini bersifat mandiri.
Perhimpunan Nasional di samping membantu Pemerintahnya dalam bidang
kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga
otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”
Secara umum, kemandirian berarti bahwa institusi Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah menolak segala jenis campur tangan yang
bersifat politis, ideologis atau ekonomis yang dapat mengalihkan mereka dari
jalur kegiatan yang telah ditetapkan oleh tuntutan kemanusiaan. Contohnya,
tidak boleh menerima sumbangan uang dari siapapun yang mensyaratkan bahwa
peruntukkannya ditujukan bagi sekelompok orang secara khusus berdasarkan alasan
politis, kesukuan atau agama dengan mengesampingkan kelompok lainnya yang
kebutuhannya mungkin lebih mendesak. Tidak ada suatu institusi Palang Merah pun
yang boleh tampak sebagai alat kebijakan pemerintah. Walaupun Perhimpunan
Nasional diakui oleh pemerintahnya sebagai alat bantu pemerintah, dan harus
tunduk pada hukum negaranya, mereka harus selalu menjaga otonomi mereka
agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip Gerakan setiap saat.
e) Kesukarelaan
“Gerakan ini adalah gerakan pemberi
bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan
apa pun.”
Kesukarelaan adalah proposal yang sangat
tidak mementingkan diri sendiri dari seseorang yang melaksanakan suatu tugas
khusus untuk orang lain dalam semangat persaudaraan manusia. Apakah dilakukan
tanpa bayaran maupun untuk suatu pengakuan atau kompensasi, faktor utama adalah
bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan
finansial namun dengan komitmen pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan
kemanusiaan.
f) Kesatuan
”Di dalam suatu negara hanya ada satu
perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang
dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.”
Prinsip kesatuan secara khusus berhubungan
dengan struktur institusi dari Perhimpunan Nasional. Di negara manapun,
peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional biasanya
menyatakan bahwa Perhimpunan tersebut merupakan satu-satunya Perhimpunan
Nasional yang dapat melaksanakan segala kegiatannya di wilayah nasional.
Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan satu-satunya di negaranya juga
merupakan salah satu syarat agar dapat diakui oleh ICRC.
g) Kesemestaan
”Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap Perhimpunan Nasional
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.”
Kesemestaan penderitaan memerlukan respon yang semesta
juga. Prinsip kesemestaan menuntut tanggung jawab secara kolektif di pihak Gerakan. Kesamaan dari status
dan hak dari Perhimpunan Nasional direfleksikan dalam kenyataan bahwa dalam
konferensi dan dalam badan pemerintah Gerakan, setiap Perhimpunan Nasional
memiliki satu suara, hal mana melarang pemberian hak suara istimewa maupun
kursi tetap kepada Perhimpunan Nasional tertentu.
Referensi
1.
International Committee of the Red Cross,
1994, Handbook of the International Red
Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
2.
IFRC, Film “Helpman”, IFRC, Geneva .
3.
IFRC, Film “Principles to action”, IFRC, Geneva .
4.
Muin, Umar, 1999, Gerakan
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
5.
PMI Statutes
6.
Pictet, Jean S, 1956, Red
Cross Principles, ICRC, Geneva.
7.
Pictet, Jean S. 1979, The
Fundamental Principles of the Red Cross: Commentary, Henry Dunant
Institute, Geneva.
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian
Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun
1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat
ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki
seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki
aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya
suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.
Pada
awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang
mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral
(kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan.
Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan
berakhir. Ada
pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat
“Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat,
karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja.
Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak
permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih
dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct), perjanjian dan
tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah
dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan
April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk
mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti
Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak
memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya
diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di
Amerika.
Ada dua pria
memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant
dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan tersebut
dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan
tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa
membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan
memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan
dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss mengadakan Konferensi Diplomatik tahun
1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk
perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan
pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan
Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan
terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi
terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa
sengketa bersenjata.
Lebih
tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku
di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian
dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah
kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun
non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak
dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat
peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban
maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya
boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil
dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum
perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa
bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya.
Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung
menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter),
sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan
oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan
istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum
Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa
bersenjata atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
> Hukum Jenewa, atau hukum
humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer
yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara
aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
> Hukum Den Haag, atau hukum perang,
adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam
melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.
Kedua cabang HPI ini
tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag
adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum
Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di masa perperangan.
Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang
HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip
pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan
objek militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan
militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di
satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip
pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu
hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah
tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan
kehancuran secara melampaui batas serta
tidak seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau
menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas, mencoba untuk menjaga keseimbangan antara
dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan
militer, dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau
larangannya tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang
mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak
memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak
dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang yang tidak atau
tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut
memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya.
Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi,
tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.
2. Dilarang untuk membunuh
atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat
lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan
yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh
pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis,
transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah
atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di
atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan dan
penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak
untuk memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi,
keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari
segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi
dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang
berhak atas jaminan peradilan dan tak
seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang tidak
dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun
mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan
lainnya.
6. Tidak satu pun
pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai
hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk
menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan
dan kerugian yang tak perlu.
7. Pihak
bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik
secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya
boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi
Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter
utamanya adalah:
> aturan
tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya multilateral, terbuka untuk semua
negara;
> adanya
kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer
yang terluka dan sakit;
> penghormatan
dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya
menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan
Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang
dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi
tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang
terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta
jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan
penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam
skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman
dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925
dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan
penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda
dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949
masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang tragis tersebut, terlebih
lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi
yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi
Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di
tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan
dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi
1949.
Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi
pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam
angkatan bersenjata di medan pertempuran
darat
II Perbaikan
keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV Perlindungan penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan
tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya
diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang
menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional (protokol I) dan
sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600 pasal
dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional,
begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir
semua negara di dunia – 190 tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta
bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar
negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157
negara menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan
internasional dan hukum hak asasi manusia internasional
(selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk
melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda.
HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM
atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam
masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi
korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum
HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI
adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan
dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah
perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk
mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi
penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah
yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya,
pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan
prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk
memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang
berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah menghormati
hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan oleh
seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh
penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang
perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan
yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud
untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Referensi
1.
Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen
Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi
Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.
International Committee of the Red Cross,
1994, Handbook of the International Red
Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
3.
International Committee of the Red
Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter,
ICRC, Jakarta .
4.
International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to
Your Question, ICRC, Geneva.
5.
ICRC, Film ‘Fighting by the Rules’ ,
ICRC, Geneva
ada gambar kegiatannya nggak?
BalasHapus